BATAMHARIINI.COM - Selain menolak kenaikan tarif Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO),
kalangan pengusaha juga menggugat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang
dipegang Badan Pengusahaan (BP) Batam.
“Ibarat sebuah pohon, kenaikan tarif baru UWTO itu adalah
ranting-rantingnya. Sedangkan akar masalahnya adalah HPL Batam. Kami uji
materi HPL Batam ini ke Mahkamah Agung (MA). Tim kuasa hukum sudah
proses di Jakarta,” ujar Ketua Forum Pengusaha Pribumi Indonesia (FOPPI)
Kota Batam Marthen Tandi Rura didampingi Ketua Kadin Provinsi Kepri
Ahmad Ma’ruf Maulana di Batam Centre, Selasa (18/10/2016).
Menurut Marthen, kewenangan UWTO ini dikarenakan adanya pelimpahan
kewenangan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun
2007 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (KPPB) Batam yang
lahir berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun
2000 tentang UU Pembentukan KPPB Batam ditetapkan dengan PP.
Pada pasal 4 PP Nomor 46 Tahun 2007 disebutkan bahwa hak pengelolaan
atas tanah yang menjadi kewenangan Otorita Batam dan hak pengelolaan
atas tanah yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota (Pemko) Batam yang
berada di Kawasan Perdagangan Bebas Batam beralih kepada BP KPPB sesuai
dengan perundang-undangan.
Memperhatikan PP tersebut, kata Marthen, di mana UU yang mengaturnya
yaitu UU Nomor 36 Tahun 2000 pada pasal 8 ayat 1 tentang Tugas dan
Kewenangan Dewan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (KPPB) Batam
menetapkan kebijaksanaan umum, membina, mengawasi, dan mengkoordinasikan
kegiatan BP Batam. Ayat 2 bahwa Kepala BP Batam mempunyai tugas dan
wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan KPPB
Batam sesuai dengan fungsi kawasan.
“Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa PP 46 Tahun 2007 yang
melimpahkan kewenangan pengelolaan HPL kepada BP Batam adalah
bertentangan dengan UU Nomor 36 tahun 2000 yang mana tak ada satupun
amanat tentang HPL sebagaimana yang diatur dalam Keppres Nomor 41 Tahun
1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam,” ujar Marthen.
Ia juga menyebut konstruksi hukum organisasi Otorita Batam pada
dasarnya sangat berbeda dengan BP Batam. Di mana, lanjut Marthen, OB
adalah pendelegasian Presiden kepada Ketua OB. Adapun Ketua OB diberikan
kewenangan atas nama negara dari Presiden untuk mengelola HPL Batam.
Sedangkan BP Batam bersifat mandatori yang diangkat DK Batam, sehingga
kedudukan keduanya berbeda.
“Kalau Ketua OB bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sedangkan
BP Batam bertanggung jawab kepada Dewan Kawasan. Sehingga tidak tepat
kalau BP memiliki kewenangan negara atas tanah yang seyogyanya kembali
pada aturan agraria umum atau diberikan kewenangan kembali kepada Pemko
Batam. Masih panjang lagi bahan kajian uji materil HPL Batam ini,
sebagai kajian tim kuasa hukum,” ujar Marthen.
Marthen mengharapkan dukungan dan doa restu masyarakat Batam atas
perjuangan ini, karena kesuksesan uji materil ini bukan untuk
kepentingan pribadi melainkan untuk masyarakat Batam dan kalangan pelaku
usaha.
Terkait gugatan ini, Direktur Humas dan Promosi BP Batam Purnomo Andi
Antono menyatakan pihaknya mempersilakan pengusaha menempuh jalur
hukum.
“BP Batam hanya sebagai pelaksana peraturan pusat. Selagi itu belum
dicabut ya kami jalankan. Tapi, jika pengusaha keberatan silakan
menggugat secara hukum. Apapun putusannya nanti kita tunggu dan BP Batam
siap menjalankannya,” ujar Andi.
SUMBER : BATAMPOS