Latest News
Tuesday 9 August 2016

MENGGORES KENANGAN DI TANAH DATAR



Teks: Faisyal – Illustrasi: Archie
BATAMHARIINI.COM
Karapan Sapi di Bumi Andalas

Tak hanya di Madura, Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Tanah Datar di Provinsi Sumatera Barat juga memiliki kegiatan lomba sapi bernama pacu jawi (dalam bahasa Minang, jawi berarti ‘’sapi’’). Selain menjadi hiburan warga setempat dan sekitarnya, pacu jawi juga menarik minat wisatawan.

Pacu jawi berlangsung sejak ratusan tahun silam. Awalnya ia merupakan kegiatan yang diselenggarakan petani setempat sehabis musim panen, untuk mengisi waktu luang sekaligus sebagai sarana hiburan. Tradisi pacu jawi digelar tiga kali setiap tahun secara bergiliran oleh empat kecamatan di Kabupaten Tanah Datar, yaitu Kecamatan Pariangan, Rambatan, Lima Kaum, dan Sungai Tarab.

Kegiatan tersebut juga dipadukan dengan tradisi masyarakat berupa arak-arakan (pawai) pembawa dulang berisi makanan serta pawai sapi yang didandani dengan berbagai aksesori, termasuk disuntiang.

Perbedaan mencolok pacu jawi di Tanah Datar dengan karapan sapi di Madura adalah lahan yang digunakan. Jika karapan sapi digelar di tanah berpermukaan datar, pacu jawi menggunakan areal sawah dengan tanah basah berlumpur. Alhasil, saat difoto pacu jawi menyodorkan lebih banyak momen bagus dan tampak lebih dramatis.

Dalam pacu jawi, joki mengendarai sepasang sapi yang diapit peralatan pembajak sawah sambil memegang tali. Ada yang menarik tali itu agar lari sapi lebih kencang. Joki juga menggigit ekor kedua sapi. Semakin kuat ekor sapi digigit, kian cepat pula sapi itu berlari.

Saat pacu jawi berlangsung, di sekitar arena berdiri aneka warung. Para pedagang kaki lima tidak ketinggalan ikut meramaikan pesta pacu jawi, sehingga lokasi sekitar arena terlihat seperti pasar. Itulah saat masyarakat bergembira dan menyaksikan sapi-sapi kesayangan mereka berpacu, lalu makan di warung-warung dengan menu spesifik gulai kambing dan kopi daun.

Negeri Asal Orang Minang

Nagari Tuo Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, terletak di tengah lereng perbukitan Gunung Marapi. Nagari itulah tempat asal-usul masyarakat Minang serta cikal bakal lahirnya sistem pemerintahan Minangkabau yang populer dengan nama nagari. Menurut sejumlah pengamat, sistem pemerintahan nagari mirip dengan konsep polis (negara kota) pada masyarakat Yunani Kuno yang lebih otonom dan egaliter.

Catatan sejarah yang terekam dalam Tambo Minang menunjukkan, Nagari Tuo Pariangan merupakan nagari asal Suku Minangkabau yang —oleh masyarakat setempat— disebut sebagai  Tampuk Tangkai Alam Minangkabau. Artinya, nagari itu dipercaya sebagai tempat pertama munculnya kehidupan di Alam Minangkabau.

Dalam tambo diceritakan, masyarakat Minangkabau merupakan keturunan Raja Iskandar Zulkarnain, penguasa pada ratusan tahun silam dengan wilayah kekuasaan membentang dari belahan bumi bagian barat hingga timur. Mitos tentang kehebatan Iskandar membuat banyak penguasa dari berbagai kebudayaan mengaitkan asal-usulnya dengan kisah itu.

Sultan Iskandar memiliki tiga anak, yaitu Sultan Suri Maharajo Dirajo, Sultan Maharajo Alif, dan Sultan Maharajo Depang. Ketiganya merantau ke negeri seberang, tapi di tengah jalan berpisah. Hanya tersisa Sultan Suri Maharajo Dirajo dan pengikutnya yang kemudian berlayar hingga tiba di kawasan Gunung Marapi. Di sana mereka tinggal di gua-gua berupa ruangan yang disebut paruangan hingga kemudian lahirlah sebutan Nagari Pariangan.

Peninggalan Jenderal Van der Capellen

Bagi sebagian masyarakat, Benteng (Fort) Van der Capellen masih terdengar asing. Mereka lebih mengenal Fort de Kock di Bukit Tinggi. Padahal kedua benteng tersebut dibangun pada masa hampir bersamaan dengan tujuan yang sama, yaitu sebagai pusat komando serdadu Belanda dalam Perang Paderi.

Fort Van der Capellen —juga nama lama Batusangkar (Ibu Kota Kabupaten Tanah Datar)— diambil dari nama seorang jenderal Belanda, yakni Godert Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen.

Keberadaan Benteng Van der Capellen tidak terlepas dari peristiwa perang sipil antara kaum adat dan kaum agama sekitar 1821. Perang meletus karena pertentangan kaum agama dengan kaum adat. Kaum agama tidak sejalan dengan praktik-praktik keseharian warga Minangkabau saat itu yang dinilai bertentangan dengan ajaran agama Islam, seperti sabung ayam, berjudi, minum-minuman keras, dan lainnya.

Pertentangan kaum adat dengan kaum agama tak terelakkan. Dalam kondisi terdesak, kaum adat meminta bantuan Belanda.  Pasukan Belanda di bawah pimpinan Kolonel Raff menyerbu Tanah Datar.

Sesampai di Batusangkar, pasukan Belanda membangun benteng  dengan ketebalan dinding 75 cm, dilengkapi parit serta tanggul pertahanan yang melingkar mengelilingi bangunan. Bangunan itulah yang kemudian dinamai Benteng Van der Capellen.

Air Terjun di Lembah Anai
Lembah Anai merupakan cagar alam, di dalamnya terdapat air Air Terjun Lembah Anai setinggi 35 meter. Air terjun itu merupakan bagian dari aliran Sungai Batang Lurah Dalam dari Gunung Singgalang menuju daerah patahan Anai.

Air Terjun Lembah Anai berada di bagian barat Cagar Alam Lembah Anai. Airnya sangat jernih, mengalir menyusuri perbukitan menuju lereng, dan mengalir terus melewati jalan berkelok-kelok.

Sejak zaman dulu pesona Lembah Anai memang benar-benar memikat. Pada 1833, Gubernur Jenderal Van den Bosch terpesona keindahan Lembah Anai, lalu memerintahkan membuat jalan raya dan jalur kereta api mengikuti alur Sungai Batang Anai, melewati trans Sumatera Padang—Bukittinggi. 

Banyak keistimewaan di Cagar Alam Lembah Anai, mulai dari keindahan alam hingga kekayaan flora dan fauna. Keindahan alamnya yang bisa disaksikan adalah tiga air terjun dan satu telaga dengan air berwarna kebiru-biruan. Ketiga air terjun itu terletak di bagian barat Cagar Alam Lembah Anai.

Satu di antaranya di pinggir jalan dan sering dikenal dengan Air Terjun Lembah Anai.  Sementara dua lainnya tertutup lebatnya hutan dan belum banyak dikenal masyarakat luas. Wisatawan yang ingin menyaksikan dua air terjun tersembunyi itu dan telaga harus menempuh perjalanan sekitar 15 menit dari lokasi Air Terjun Lembah Anai.

Lukisan Alam Puncak Pato

Berada di atas Bukik Marapalam, keindahan alam Puncak Pato begitu dikenal. Puncak Pato terdapat di Nagari Batu Bulek, Kecamatan Lintau Buo Utara, sekitar 17 km dari Kota Batusangkar, Ibu Kota Kabupaten Tanah Datar.

Dari Puncak Pato pengunjung bisa leluasa memandang ke bawah. Sawah berjenjang terhampar dengan padi mulai menguning menyodorkan pesona tersendiri. Semilir angin menerpa dedaunan pinus membuat pengunjung enggan beranjak dari tempat duduk, begitu mengagumi pesona alam Puncak Pato. Kebun berjejer di bukit, ditambah pesona warna langit, membuat Puncak Pato bagai bentang lukisan alam nan indah memesona.

Dari Puncak Pato, melempar pandang ke belahan barat akan tertuju pada hamparan perkampungan penduduk Kenagarian Sungayang. Di sela-sela pohon pinus tampak pula hamparan kebun tebu. Di lokasi inilah terjadi peristiwa bersejarah yang sangat penting, yakni Sumpah Satie Bukik Marapalam. Kesepakatan antara kaum adat dan kaum agama untuk mengakhiri peperangan.

Dari momen itu pula lahir nilai-nilai yang menjadi kesepakatan dan pegangan hidup bermasyarakat di Minangkabau, yaitu Adat Basandi Syarak dan Syarak Basandi Kitabullah (Adat yang Didasarkan pada Syariat Agama Islam dan Syariat Berdasarkan pada Al Qur’an dan Hadist).

Kawasan Puncak Pato juga pernah digunakan sebagai salah satu benteng pertahanan kaum Paderi kala berperang melawan penjajah kolonial Belanda.

Sumber : LION MAG
  • Facebook Comments
Item Reviewed: MENGGORES KENANGAN DI TANAH DATAR Rating: 5 Reviewed By: idvan